Monday, June 5, 2017

ASAL USUL SUKU BETAWI











ASAL USUL SUKU BETAWI - Sejarah Asal usul dan Kebudayan Suku Betawi . Suku Betawi merupakan sebuah suku bangsa Indonesia yang penduduknya tinggal di Jakarta. Di zaman kolonial Belanda tahun 1930, orang Betawi yang sebelumnya tidak ada muncul ketika sensus di tahun itu. mayoritas penduduk Batavia waktu itu.



Sejarah Asal usul suku Betawi
Terdapat tiga pendapat yang menjelaskan sejarah suku Betawi diantaranya :

1. Pendapat pertama
Menyatakan bahwa Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis serta bangsa di zaman dulu yang didatangkan kolonial Belanda ke Batavia. Sehingga etnis betawi merupakan suku pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini terlahir dari perpaduan bermacam kelompok diantaranya orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, serta Tionghoa.

2. Pendapat kedua
Menurut sejarawan Sagiman MD etnis Betawi sudah tinggal di Jakarta dan sekitarnya pada zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum. menurutnya bahwa masyarakat asli Betawi merupakan masyarakat Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura.
Pendapatnya diperjelas dengan Uka Tjandarasasmita yang menerbitkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya pada Zaman Prasejarah sampai Kerajaan Padjajaran (1977)". Di dalam monografinya menyatakan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 – 3000 SM.

3. Pendapat ketiga
Lance Castles juga pernah melakukan penelitian mengenai Penduduk Jakarta yang diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dengan menyatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi merupakan keturunan berdarah campuran bermacam suku serta bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Komonitas etnis ini lahir dari perpaduan berbagai macam kelompok etnis yang ada di Indonesia diantaranya (Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon) maupun dari luar seperti Arab, India, Tionghoa serta Eropa.

Penelitian Lance Castles tersebut berpusat pada empat sketsa sejarah diantaranya :
Daghregister, adalah catatan harian tahun 1673 yang dibuat oleh Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
Sensus penduduk yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.


Baca Juga : ASAL USUL SUKU BALI



Etimologi Betawi

Para ahli sejarah mengatakan asal mula kata Betawi mengacu pada beberapa pendapat yaitu :
1. Pitawi (bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan. Hal ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati pada zaman Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang adalah sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, adalah Kota yang terbuka.

2. Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan dalam menyebut giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.

3. Flora guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae adalah jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling serta mudah diraut dan kokoh. Jenis batang pohon Betawi ini dahulu banyak digunakan sebagai pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau.

Ada benarnya Kemungkinan nama Betawi berasal dari jenis tanaman pepohonan. Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan untuk pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, diantaranya Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol serta banyak lagi. "Contohnya Kecamatan Makasar, nama ini tidak berkaitan dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"

Sehinga Kata "Betawi" tidak berasal dari kata "Batavia" (nama lama kota Jakarta pada zaman Hindia Belanda), sebab nama Batavia lebih merujuk pada wilayah asal nenek moyang orang Belanda.


Seni dan kebudayaan

Seni serta Budaya asli masyarakat Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, seperti giwang-giwang yang ditemukan pada penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal pada abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan budaya beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo .
Pada zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) adalah wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga terjadi pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa yang mengadakan perjanjian dengan Portugal, dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku Betawi sebagai masyarakat asli Jakarta agak tersingkirkan oleh warga pendatang. Mereka keluar dari Jakarta serta pindah ke wilayah-wilayah yang berada di provinsi Jawa Barat serta provinsi Banten. Budaya Betawi juga tersingkirkan dengan budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya yang berada di Situ Babakan.


Bahasa

Bahasa Betawi merupakan bahasa kreol (Siregar, 2005) yang merujuk pada bahasa Melayu Pasar ditambah dengan unsur-unsur bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa dari Cina Selatan (terutama bahasa Hokkian), bahasa Arab, serta bahasa dari Eropa, terutama bahasa Belanda serta bahasa Portugis. Bahasa ini awalnya dipakai oleh kalangan menengah ke bawah pada masa awal perkembangan Jakarta. Komunitas budak dan pedagang yang paling sering menggunakannya. Menurut perberkembanganya secara alami, maka tidak ada struktur baku yang jelas dari bahasa ini untuk membedakannya dari bahasa Melayu, walaupun ada beberapa unsur linguistik penciri yang dapat dipakai, seperti dari peluruhan awalan me-, penggunaan akhiran -in (pengaruh bahasa Bali), serta peralihan bunyi /a/ terbuka di akhir kata menjadi /e/ atau /ɛ/ pada beberapa dialek lokal.


Musik

Ada beberapa seni musik masyarakat betawi yaitu :
1. Seni Gambang Kromong berasal dari seni musik Tionghoa
2. Rebana yang berasal pada tradisi musik Arab
3. Orkes Samrah berasal dari Melayu
4. Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab
5. Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an
6. Seni Lenong
7. Gambang Kromong
8. Rebana Tanjidor
9. Keroncong
10. Lagu tradisional "Kicir-kicir".


Tari

Seni tari di Jakarta adalah perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya diantaranya :
1. Tari Topeng Betawi
2. Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda
3. Cokek, tari silat dan lain-lain.


Drama

1. Lenong
2. Tonil


Cerita rakyat

Cerita rakyat yang ada di Jakarta antara lain :
1. Si Pitung
2. Jagoan Tulen atau si jampang
3. Nyai Dasima
4. Mirah dari Marunda
5. Murtado Macan Kemayoran
6. Juragan Boing


Senjata tradisional

Senjata khas tradisional Jakarta ialah bendo atau golok.


Rumah tradisional

Rumah tradisional Betawi ialah rumah kebaya


Kepercayaan

Masyarakat Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen Protestan serta Katolik juga ada.


Makanan Khas Betawi

Masakan
Masakan khas penduduk Betawi ialah gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog, soto betawi, ayam sampyok, asinan betawi, serta nasi uduk.

Kue-kue
Kue-kue khas penduduk Betawi ialah kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang, kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal, kue geplak, dodol betawi, serta roti buaya.

Minuman
Minuman Khas Betawi diantaranya adalah es selendang mayang, es goyang, dan bir pletok.

Wednesday, May 31, 2017

ASAL USUL SUKU DOU MBOJO NTB









ASAL USUL SUKU DOU MBOJO - Dou Mbojo merupakan penduduk para pendatang yang berasal dari daerah-daerah seperti Makassar, Bugis, dengan bermukim di daerah pesisir Bima. Sebagian besar Mereka berbaur dengan masyarakat asli serta bahkan menikahi wanita penduduk asli.


Mereka datang sekitar abad XIV, datang dengan berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka adalah bertani, berdagang, nelayan/pelaut serta sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah. Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, maka pada generasi berikutnya banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang.


Yang dikenal dengan Sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Sampai sekarang di beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar di antaranya beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo. Ada juga pendatang dari Arab dan Melayu, Masyarakat Melayu berasal dari Minangkabau dan daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka adalah minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng.


Baca Juga : ASAL USUL SUKU KORE


Karena perkembangan zaman, sekarang mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang serta mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab sangat tertekan karena harus berhadapan dengan penduduk Bima yang sudah cukup variatif. Mereka menganggap pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.


Masyarakat Cina juga tak ketinggalan dalam berperan di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil tetapi karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.

ASAL USUL SUKU KORE NTB







ASAL USUL SUKU KORE NTB - Masyarakat Kore merupakan suatu kelompok sosial yang berasal dari penduduk dalam Kabupaten Bima, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).


Masyarakat sebagian bermukim dalam wilayah Kecamatan Sanggar. Belum ada data yang ditemukan tentang jumlah penduduk ini Kecamatan Sanggar sekitar tahun 1985 dengan jumlah penduduk sekitar 8.475 jiwa atau di antara masyarakat Kabupaten Bima dengan jumlah penduduk sekitar 404.383 jiwa pada tahun 1986.


Masyarakat Kore mempunyai bahasa sendiri adalah bahasa Kore. Di wilayah Kabupaten Bima mereka hidup berdampingan dengan orang-orang Mbojo atau yang biasa juga disebut orang Bima, dan warga dan masyarakat dengan latar belakang budaya lainnya yang ada di kabupaten Bima.


Wilayahnya berada di bagian barat serta selatan berbatasan dengan wilayah asal masyarakat Donggo serta masyarakat Dompu.
Mereka hidup berdampingan dengan adat dan tradisi yang di percayai masing masing untuk kehidupan bermasyarakat


Pada zaman dulu masyarakat di wilayah kecamatan ini juga pernah mempunyai sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sanggar,kejayaanya sampai dengan abad ke-16. Dalam periode 1618 - 1674 kerajaan Sanggar serta beberapa kerajaan lain di Nusa Tenggara Barat berada dalam kekuasaan Kerajaan Gowa dari Sulawesi.


Di masa pemerintahan Kolonial Belanda menjadi bagian dari Onder Afdeeling Bima. Agama Islam tela masuk ke masyarakat di daerah Sanggar ini sekitar abad ke-16.




Dalam Upaya mengungkap peradaban masa lalu di Semenanjung Sanggar memang tak gampang, karena masyarakat Sanggar yang tersisa saat ini seperti tercerabut dari akar budaya mereka. Jejak peradaban di Semenanjung Sanggar, lebih banyak muncul dalam bentuk artefak dan tulang-belulang yang terkubur material letusan Gunung Tambora hampir 200 tahun lalu, dan baru mulai digali kembali pada 2004 oleh Haraldur Sirgurdsson, vulkanolog dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat.
Penggalian yang kemudian diteruskan para arkeolog Indonesia hingga saat ini. Namun, upaya merekonstruksi peradaban masa lalu ini masih sulit karena luasnya area yang tertutup awan panas, dibandingkan upaya penggalian yang ”hanya” 25 meter persegi tiap tahunnya.


Sebelumnya, cerita soal peradaban masa lalu di lereng gunung itu dilestarikan masyarakat Sanggar dalam bentuk dongeng. ”Kami inilah suku Kore dari Kerajaan Sanggar, pewaris kecantikan legenda Putri Dae Minga,” kata Suhada M Saleh (55), tokoh masyarakat Sanggar.


Lira atau bilah kayu asam untuk menenun yang warnanya hitam kelam serat alat pemintal benang yang disebut janta, yang masih dimiliki Suhada dan diwarisinya dari leluhurnya, menunjukkan kesamaan dengan alat tenun yang digali para arkeolog.


Sampai sekarang, masih banyak yang menyimpan alat tenun ini walau sebagian sudah rusak. Bagi perempuan Sanggar, alat tenun ini hingga kini masih dianggap sebagai senjata. Kami juga punya tarian yang melambangkan perempuan-perempuan menggunakan lira sebagai senjata,” kata Suhada.


Selain alat tenun, warga juga meyakini lesung berusia ratusan tahun di Desa Boro, Kecamatan Sanggar, sama bentuknya dengan yang ada di Tambora. Warga Sanggar secara rutin masih memainkan lesung itu dalam pertunjukan Kareku Kandei di berbagai acara hajatan.


Dari temuan Balai Arkeologi Denpasar, yang dipimpin Made Geria, di lubang ekskavasi Oi Bura, menunjukkan bahwa beberapa temuan di sana memang mengindikasikan ada kemiripan antara Tambora dan Sanggar. Bahkan, tim peneliti ini sering mendiskusikan berbagai temuan di lubang penggalian ke salah satu warga Sanggar yang masih paham soal budayanya, As’ad (32), seorang guru di SMAN 1 Sanggar.


”Kemiripan yang ditemukan seperti alat tenun, sama yang ditemukan di Desa Boro, di alat tenun itu biasanya disimpan benang menggunakan anyaman dengan daun lontar. Ditemukan juga lesung, ukirannya sama dengan di Kore, Sanggar.


Ukiran di pojok dinding rumah yang ditemukan di lubang ekskavasi juga sama dengan rumah di Sanggar. ”Model rumah panggung juga sama, rumah panggung dengan enam tiang yang disebut pa’a sekolo.


Kesamaan benda-benda arkeologis di lubang galian Kerajaan Tambora dengan barang yang dimiliki warga Sanggar saat ini menguatkan, adanya anyaman sejarah di antara keduanya.
Jika tulang-belulang dan berbagai artefak yang ditemukan di lubang galian Desa Oi Bura adalah bukti mati yang berkisah, kehidupan di Sanggar adalah artefak yang hidup. Keduanya, sama-sama penting untuk diungkap lebih lanjut oleh para peneliti untuk membuktikan keberadaan peradaban yang terkubur oleh letusan sebuah gunung berapi.

Artikel lain:
ASAL USUL SUKU BAYAN
ASAL USUL SUKU DOMPU

Sunday, May 28, 2017

ASAL USUL SUKU DONGGO NTB







ASAL USUL SUKU DONGGO - Suku Donggo merupakan penduduk pendatang yang bermukim di wilayah Kabupaten Dompu, serta wilayah Kabupaten Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurut sumber menunjukkan bahwa wilayah asal mereka ialah dari Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, serta empat wilayah kecamatan di Kabupaten Dompu, diantaranya Kecamatan Huu, Dompu, Kempo, serta Kilo. Wilayah ini berbatasan dengan Donggo. Masyarakat Donggo menggunakan bahasa sehari hari dengan bahasa Mbojo seperti penduduk suku bangsa Mbojo (Bima).


Masyarakat Donggo menganggap mereka berasal dari wilayah Swangga, dimana tempat yang terletak di suatu pegunungan yang tinggi serta terpencil. Zaman dulu mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, di setiap kelompok dipimpin oleh pimpinan yang disebut Naka-Niki. DI antara kelompok-kelompok kecil itu sering terjadi perang atau konflik. Mereka mengembangkan pola hidup nomaden serta hidup dari berburu. Pada zaman itu mereka sebut dengan zaman Naka-Niki Tu jug zaman "terbang" (ngemo), karena di saat itu orang yang meninggal tidak dikubur melainkan terbang serta menghilang begitu saja.

Seiring perjalanan terjadi perubahan yaitu mereka tidak lagi hidup di pegunungan. Mereka berangsur turun serta bermukim di dataran rendah dan  berkomunikasi dengan kelompok-kelompok lain. Perubahan sangat terasa di kala sudah tidak terjadi dan berkurangnya konflik antar kelompok. Selain berburu mereka mulai menetap serta bercocok tanam, dan terbentuklah kelompok-kelompok yaitu klen (rafu), dengan masuknya unsur-unsur agama Hindu.





Adat istiadat dan kelompok sosial semakin berkembang. Pemimpin kelompok yang sudah menjadi lebih besar disebut Neuhi. Di abad ke-14 kedudukan serta peranan neuhi ini sudah sangat kuat.

Pada abad ke-20 mulai masuk pengaruh agama katolim dan agama Islam. Penduduk Donggo semakin terbuka dengan dunia serta masyarakat lain. Dan lebih cepat menerima pembaharuan-pembaharuan. Semenjak mereka turun ke dataran rendah mereka bisa berkomunikasi dengan kelompok lain, di antaranya dari flores, Ambon yang menambah pengetahuan sehungga mereka menetap serta membuat rumah tinggal.


Mata Pencaharian Suku Donggo
Sudah lama, mereka melakukan pertanian ladang dengan sistem tebas bakar (ngoho). Dengan pembakaran pohon yang sudah ditebang untuk dilaksanakan pembersihan sisa bakaran (boro). Serta menjadikan lahan yang siap untuk ditanami sambil menunggu hujan, sebelum melakukan penanaman mereka mengadakan upacara raju yaitu ritual untuk menentukan hari yang baik dalam bertanam. Setelah itu dilakukan upacara kadaki untuk pengusiran hama di saat tanaman itu sudah cukup besar serta sambil menunggu masa panen.

Di samping bertani mereka juga berburu biasanya dilakukan dengan berkelompok dalam seminggu atau sebulan sekali. Masyarakat Dongu juga melakukam perburuan massal setahun sekali. Dan di bagi hasil buruanya tergantung pada tenaga serta jasa seseorang. Tetapi jika hasil buruannya cukup banyak maka daging buruan akan dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat kampung. Hasil buruan itu mereka tafsirkan dengan hasil pertanian. Jika mereka banyak memperoleh kijang (maju), maka hasil pertanian akan berkurang, tetapi jika mereka banyak memperoleh babi (wawi), maka hasil pertanian akan melimpah. Di pemukiman mereka juga berternak di antaranya ialah sapi, kuda, kambing, kerbau, ayam, serta babi. Dalam menentukan kekayaan pada masyarakat ini ialah dengan luasnya sawah, ladang, serta banyaknya ternak.


Kekerabatan Suku Donggo
Dalam Kelompok kerabat keluarga batih merupakan keluarga batih patrilineal. Yaitu seorang ayah sangat dihormati serta memiliki kekuasaan yang lebih besar. Bila terjadi perceraian maka anak-anak akan berada dipihak suami, sementara isteri akan dikembalikan kepada keluarganya dan hanya menerima benda-benda pusaka serta sebagian dari harta yang didapat sebelum bercerai. Terdapat bebrapa istilah dalam kekerabatan yaitu keluarga inti ialah ama untuk ayah, ina untuk ibu, wi untuk istri, rahi untuk suami, anak sulung disebut ulu, anak bungsu disebut cumpukai dan lain-lain. Dalam keluarga yang anggotanya selain keluarga inti, tetapi terdapat anggota kerabat lain, contohnya nenek, bibi, atau kemenakan serta kelompok kerabat, ini disebut ngge'e la'bo.

Tradisi mereka dalam perkawinan adalah dengan menjodohkan anaknya sejak masih kecil, serta sebagian besar kawin muda. perempuan sudah cukup syarat untuk kawin jika sudah datang masa haid serta sudah pandai bertenun menurut kepercayaan mereka. Dalam perkembangan tradisi ini sudah banyak berubah. Dalam masa pendekatan atau berpacaran tidak di jalankan dalam masyarakat ini. Jika seseorang anak laki-laki menginginkan seseorang gadis mereka langsung menyatakan keinginan itu kepada orang tuanya. Dan dilanjutkan orang tua laki-laki akan melakukan peminangan. Jika sudah bertunangan tradisi mereka maka se orang menantu laki-laki wajib mengabdi atau bekerja membantu calon mertuanya untuk menuju ke masa perkawinan. Serta mas kawin yang biasanya diminta ialah uang, rumah, kerbau, serta ternak.

Periode kehidupan oleh penduduk ini, ialah sesudah melahirkan dimana sang bayi disusukan oleh saudara dekat dari yang bersalin. Sekitar tujuh hari setelah melahirkan api yang berada di dapur tidak boleh mati. Dan ada upacara pemberian nama (cafe sari) setelah bayi berumur tujuh hari. Untuk masyarakat yang beragama Islam dilakukan sunatan baik laki-laki maupun perempuan. Anak laki-laki disunat pada usia 5-6 tahun. Dalam rangka sunatan itu masih ada tradisi yang dilakukan yaitu upacara berdasarkan tradisi setempat, contohnya acara mako, ialah memberi semangat kepada sang anak. Si anak sambil memegang keris mengucapkan pantun-pantun dengan diiringi gendang.


Agama dan Kepercayaan Suku Donggo
Sekarang sebagian besar masyarakat memeluk agama Islam serta ada sebagia beragama Kristen.
Masyarakat Donggo juga pernah mengenal serta mempercayai kekuatan gaib, di antaranya "Dewa Langit" (Dewa Langi), "Dewa Air" (Dewa Oi), serta "Dewa Angin" (Dewa Wango). Dewa langit merupakan Dewa yang dianggap paling berkuasa serta berada di atas awan dan matahari. Dewa Angin akan mereka puja pada saat ada wabah penyakit, sementara Dewa Air di saat ada musim kemarau panjang yang mengancam tanaman mereka.


Artikel lain :
ASAL USUL SUKU BAYAN
ASAL USUL SUKU DOMPU

Thursday, May 25, 2017

ASAL USUL SUKU SASAK








ASAL USUL SUKU SASAK - Suku Sasak sudah tinggal di Pulau Lombok selama berabad-abad lamanya, Mereka sudah menghuni sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat menyatakan bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari pulau Jawa. Ada juga yang berpendapat leluhur orang sasak ialah orang Jawa. Dari jumlah penghuni pulau Lombok, hampir 80 persen nya merupakan suku Sasak.

Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan demikian Goris berkesimpulan bahwa sasak mempunyai arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian itulah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu ialah orang Jawa. Bukti lain yang merujuk pada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”, adalah aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada perjalananya, aksara ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak. Tetapi ada juga yang beranggapan lain dengan meyebut bahwa sasak berasal dari kata  sak-sak yang mempunyai arti sampan. Analisa ini berkaitan dengan legenda kedatangan nenek moyang suku Sasak yang menaiki sampat dari arah barat. Serta menurut sumber yang lainnya disebutkan bahwa etimologi nama Sasak berhubungan dengan kitab Negarakertama karangan Mpu Prapanca pada abad ke 14. Di dalam kitab yang memuat catatan kekuasaan Majapahit itu terdapat ungkapan "lombok sasak mirah adi" yang diartikan dengan "kejujuran ialah permata yang utama". Pemaknaan ini merujuk pada sasak yang diartikan sebagai satu atau utama. Sedangkan lombok berarti jujur atau lurus, mirah diartikan perhiasan, serta adi bermakna baik.

Sejarah pulau Lombok memang tidak bisa dipisahkan dengan silih bergantinya kekuasaan pada zaman itu. Dulu kala di zaman pemerintahan Raja Rakai Pikatan di Medang (Mataram kuno), suku Jawa sudah banyak memasuki wilayah Lombok serta menikah dengan penduduk asli dan menjadikan nenek moyang suku Sasak. Sejak abad 14-15 masehi, pulau Lombok dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Bahkan konon ceritanya, sang patih Gajah Mada datang sendiri ke Lombok untuk menaklukan beberapa kerajaan yang berada di pulau yang bersebelahan dengan Bali itu. Tetapi dengan melemahnya pengaruh Majapahit Islam masuk serta kemudian meyebar luas. Terutama setelah menerima bantuan langsung dari para wali di jawa serta Makassar. Yang menyebabkan sekarang agama Islam menjadi agama mayoritas di pulau Lombok dan menyisakan sedikit masyarakat yang masih memeluk agama Sasak Boda peninggalan leluhur mereka. Sekarang pemeluk Sasak Boda lebih banyak menyingkir serta tinggal di wilayah lembah serta pegunungan Lombok bagian selatan.




Dalam sejarahnya, Suku Sasak diidentifikasikan sebagai budaya yang dapat pengaruh banyak dari Jawa serta Bali. kenyataannya kebudayaan Suku Sasak mempunyai corak serta ciri budaya yang khas, asli serta sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku bangsa lainnya. Sekarang, Sasak dikenal bukan hanya sebagai kelompok penduduk tetapi juga merupakan entitas budaya yang melambangkan kekayaan tradisi dan budaya Bangsa Indonesia di mata dunia.

Tradisi suku Sasak yang sangat terkenal diantaranya:
Bau Nyale. Nyale merupakan sejenis binatang laut, termasuk dalam jenis cacing (anelida) yang berkembang biak dengan bertelur. Dalam kepercayaan Suku Sasak, Nyale bukanlah sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menggambarkan tentang putri yang menjelma menjadi Nyale. Ada pendapat mengatakan bahwa Nyale ialah binatang anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan kesuburan serta keselamatan. Ritual Bau Nyale digelar setahun sekali pada tanggal 19 atau 20 setiap bulan oktober atau november.

Rebo Bontong. Yang di percaya bahwa hari Rebo Bontong adalah hari puncak terjadinya bencana atau penyakit (Bala) sehingga untuk masyarakat sesuatu yang tabu jika memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo serta juga Bontong mempunyai arti “putus” atau “pemutus. Acara ini dilaksanakan setahun sekali  pada hari Rabu di Minggu terakhir.

Bebubus Batu. Dari kata “bubus”, merupakan sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang dicampur dengan berbagai jenis tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada batu tempat digelarnya upacara. Bebubus Batu merupakan upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa. Acara ini di gelar setiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku adat) serta Kiai (ahli agama). Dan penduduk ramai-ramai mengenakan pakaian adat serta membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.

Sabuk Beleq. Dalam pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok yang berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Budaya pengeluaran Sabuk Beleq ini di awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi perkampungan diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara selanjutnya dengan menggelar praja mulud hingga diakhiri dengan memberi makan berbagai jenis makhluk. Acara ini dilakukan dengan tujuan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan serta gotong royong antar masyarakat, dan cinta kasih di antara makhluk Tuhan.


Artikel lain : ASAL USUL SUKU BAYAN

ASAL USUL SUKU BALI AGA







ASAL USUL SUKU BALI AGA - Diperkirakan yang jadi cikal bakal manusia yang menempati pulau Bali merupakan bangsa Austronesia terbukti dari peninggalan yang tersebar di Bali seperti alat batu kapak persegi. Bangsa Austronesia berasal dari daerah Tonkin, Cina yang dalam perjalananya kemudian mengarungi laut yang sangat luas dengan kapal bercadik pada tahun 2000 sebelum Masehi.

Bangsa Austronesia mempunyai kreasi seni yang sangat tinggi. Terlihat dari hiasan-hiasan nekara serta sarkofagus , peti mayat lengkap dengan bekal kuburnya yang masih tersimpan rapi di Bali. Bangsa ini mempunyai kehidupan yang teratur serta membentuk suatu persekutuan hukum yang dinamakan thana atau dusun yang terdiri dari beberapa thani atau banua. Hal inilah yang diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali. Bangsa ini juga yang kemudian menurunkan masyarakat asli pulau Bali yang disebut Orang Bali Mula atau ada juga yang menyebut Bali Aga.

Waktu itu orang-orang Bali Mula belum mempunyai agama. Mereka hanya menyembah leluhur yang di sebut Hyang. Untuk segi spiritual mereka masih hampa, ini terjadi sampai abad ke empat sesudah masehi. Melihat pulau Bali yang masih tertinggal maka penyiar Agama Hindu mulai berdatangan ke pulau ini. Di samping untuk mengajarkan agama juga ingin memajukan Bali dalam segala hal. Maka muncullah seorang Resi ke Bali yang bernama Resi Maharkandya yang berasal dari India.

Sebutan Maharkandya merrpakan bukan nama perorangan tetapi nama suatu perguruan yang mempelajari serta mengembangkan ajaran-ajaran gurunya. Resi Maharkandeya menolak semua marabahaya yang menhalangi setelah diberikan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan upacara penanaman lima logam yang disebut panca datu di daerah Wasuki yang berkembang menjadi Basuki yang berarti keselamatan. Hal ini merupakan awal mula kehidupan harmonis antara masyarakat pendatang (agama Hindu) berdampingan dengan orang Bali Mula yang merupakan penduduk asli pulau Bali.
Di wilayah Basuki ini akhirnya dibuat sebuah pura yang terbesar se Asia Tenggara yaitu Pura Besakih. Di saat kerajaan Majapahit runtuh, pemeluk agama Hindu terdesak dengan datangnya agama Islam yang menduduki pulau Jawa yang membuat pindah ke pulai Bali untuk menghindar harus menghindar. Semakin banyak masayrakat Jawa akhirnya tinggal serta mengembangkan agama Hindu sampai begitu pesat di Pulau Bali.




Terdapat perbedaan antara Bali Mula dengan Bali yang datang dari Majapahit terlihat dari upacara kematiannya. Orang Bali Mula, melaksanakan upacara dengan cara di kubur atau ditanam, yang disebut beya tanem. Untuk orang Bali yang pendatang, melakukan upacara dengan cara dibakar. Ini dapat dijelaskan karena Bali Mula adalah keturunan Austronesia dari jaman perundagian. Adat ini sudah begitu melekat dan sulit untuk dirubah.

Saat ini kita bisa menemukan komunitas Bali Mula serta Bali Aga berada di Desa Tenganan yang sangat dekat dari daerah Candi Dasa Bali. Jika ingin yang lebih ekstrim serta pedalaman dapat mengunjungi Desa Trunyan di pinggir Danau Bratan yang dikenal dengan pohon Banyan yang mengeluarkan harum yang khas sehingga mayat-mayat disana tidak dibakar dan dibiarkan begitu saja diletakkan dekat pohon tersebut yang tidak menimbulkan bau sama sekali.

Perkembangan Hindu Bali serta Bali Aga
Perkembangan hindu bali erat kaitannya dengan datangnya kerajaan majapahit ke Bali. Prasasti Blanjong adalah prasasti setelah kedatangan Resi Markadeya ke Bali, prasasti itu menyebutkan bahwa bali dwipa diperintah oleh Raja  Khesari Warmadewa atau Raja Ugrasena yang berkedudukan di Singhadwala (915-945). Setelah meninggal serta dimandikan dengan air madatu raja Ugrasena digantikan oleh raja Jayasingha Warmadewa. Raja Jayasingha Warmadewa digantikan oleh Raja Jayasadhu Warmadewa (975 M – 983 M), dan digantikan oleh seorang Ratu yang bernama Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi (983 M – 989 M). Selanjutnya digantikan oleh Dharmodayana (989 M – 1011 M) yang dikenal dengan Raja Udayana. Raja Udayana menikah dengan Gunapriayadharmapatni alias mahendradatta dari kerajaan Medang Kemulan jawa timur yang kemudian bergelar Sri Gunaprya Dharmmapatni di karuniai tiga orang anak di antaranya : Airlangga, Marakata, serta Anak Wungsu.

Di waktu pemerintahan Sri Gunaprya Dharmmapatni inilah terdapat perubahan besar-besaran terhadap semua aspek kehidupan di Bali dari sistem serta struktur pemerintahan, tata cara kemasyarakatan, maupun bidang lainnya yaitu bidang keagamaan atau lebih dikenal dengan (Politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama). Di saat itulah kemudian dikenal dengan jaman perubahan, dengan memberikan corak serta warna pada kehidupan penduduk Bali, yang menjadikan dari situasi pertentangan menjadi persatuan serta kesatuan. Yang sangat penting diketahui bahwa adanya konflik diakibatkan adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Bali yang mayoritas adalah Bali Aga.

Pada waktu itu, penduduk Bali mengenal adanya sad paksa (yang oleh peneliti barat disebut dengan enam sekte) adalah Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Bhayu dan Iswara, di dalam pelaksanaanya sering membuat keresahan. Dengan keanekaragaman paksa itu, keamanan serta ketertiban menjadi terganggu. Ini menjadi problema social secara terus-menerus yang sulit untuk diatasi oleh raja Sri Gunaprya Dharmmapatni. Dengan ini Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni mendatangkan Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirthadari Jawa Timur yang sudah terkenal keahliannya dalam bidang aspek kehidupan. Perlu diketahui Panca Tirtha merupakan sebutan dari Panca Sanak keturunan Mpu Tanuhun ialah yang sulung bernama Brahmana Pandhita, kedua Mpu Semeru alias Mpu Mahameru, yang ketiga Mpu Ghana, yang keempat adalah Mpu Kuturan alias Mpu Rajakreta, serta yang bungsu adalah Mpu Baradah alias Mpu Pradah. Mereka itu dikenal dengan  Panca Pandita atau Panca Tirtha, yang juga digelari Panca Dewata.

Catur Sanak yang didatangkan dari Jawa Timur secara bertahap, yang selanjutnya mendampingi beliau dalam pemerintahan, yaitu : Yang Pertama adalah Mpu Semeru alias Mpu Mahameru yang memeluk ajaran Siwa., tiba di Bali pada jumat Kliwon, Wara Pujut, Hari Purnamaning Sasih Kawolu, Chandra Sangkala Jadma Siratmaya, Tahun Saka 921 (999 M). selanjutnya beliau berparahyangan di Besakih, yang kemudian mendirikan sebuah pura yang disebut ( Pura Ratu Pasek, sebagai Pedharman Warga Pasek ( Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) serta Warga Pasek Kayu Selem. Mpu Ghana merupakan penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin Kliwon Wara Kuningan, Pananggal Ping 7, tahun Saka 923 (tahun 1000 M), beliau kemudian berparahyangan di Pura Dasar Buwana Gelgel. Lalu Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha aliran Mahayana, yang tiba pada hari Rabu Kliwon, Wara Pahang, Madhuraksa, Tahun Saka 923 (tahun 1001 M), yang kemudian berparahyang di Padang (Pura Silayukti). Dan yang terakhir adalah Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada haro Kamis Umanis, wara Dunggulan, Sasih Kadasa, pananggal 1, tahun saka 971 (tahun 1049 M). beliau berparahyangan di Pura Lempuyang Madya.

Berdasarkan lontar Tatwa Siwa Purana kedatangan Para Mpu dari Catur Sanak ini memberi dampak yang sangat besar pada tatanan kehidupan keagaman di Bali. Oleh Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni, Mpu Kuturan diangkat menjadi Pakiran-kiran Ijro Makabehan, sebagai penasehat raja. Keadaan Kerajaan Bali kala itu adanya kekacauan terhadap sad paksa yang ada di bali, untuk itu Mpu Kuturan melalukan penelitian terhadap masyarakat Bali Aga. Atas penelitiannya tersebut Mpu Kuturan mengadakanpasamuhan agung (rapat Besar) yang mengumpulkan tiga kelompok yaitu Mpu kuturan sendiri sebagai penganut aliran Budha Mahayana, tokoh-tokoh atau pimpinan penduduk Bali Aga yang terdiri dari sad paksa yang dijadikan satu kelompok, serta tokoh-tokoh agama aliran Siwa. Dalam pasamuhan agung tersebut disepakati 5 hal yaitu :

Faham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan, yang mencangkup seluruh aspek kehidupan.
Dibentuk wadah desa pakraman, yang kemudian melahirkan Kahyangan Tiga yaitu Pura Bale Agung atau pura desa, sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan manifestasinya Dewa Brahma, Pura Puseh sebagai tempat memuliakan dan memuja sang Hyang Widhi Wasa atau menifestasinya Dewa Wisnu sebagai Pemelihara dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Disamping itu juga bangunan pura di sawah untuk krama subak (warga subak)
Sebagai pemujaan leluhur dibuatkan pelinggih Rong Tiga (sanggah kemulan) di masing-masing Rumah.
Tanah untuk Pura Kahyangan Tiga menjadi milik Desa Pakraman yang tisdak boleh diperjualbelikan.
Tentang agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut Agama Siwa-Budha.

Dengan adanya keputusan dalam pasamuhan agung tersebut maka tentramlah masyarakatBali Aga. Masyarakat Bali Aga menerima hasil tersebut dan mengubah cara keagamaan mereka dari aliran waisnawa menjadi Agama Siwa-Budha. Sebenarnya masih banyak Mpu yang berperan tentang perubahan keagamaan di Bali, Seperti Mpu Kamareka, Mpu Kul Putih, Mpu Ketek dan lainnya yang semuanya keturunan Sanak Sapta Rsi, tetapi catur sanak inilah yang paling terkenal di Bali.

Karena Airlangga menikah dengan putri Raja Dharmawangsa (raja jawa timur) dan kemudian menetap di Jawa Timur. Raja Marakata menggantikan Raja Udayana (Sri Gunaprya Dharmmapatni. Marakata diberi gelar Dharmawangsa Wardana Marakatta Pangkajasthana Uttunggadewa yang memerintah di Bali dari 1011 – 1022. Kemudian digantikan oleh anak Wungsu (1049 – 1077) yang memerintah selama 28 tahun dan dikatakan selama pemerintahannya keadaan negara aman tenteram. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan dan meninggal tahun 1077 dan di dharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring. Setelah Anak Wungsu meninggal, keadaan kerajaan di Bali tetap mengadakan hubungan dengan raja-raja di Jawa dan ada dikisahkan seorang raja Bali yang saat itu bernama Raja Bedahulu yang memiliki seorang patih yang sangat sakti yang bernama Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna.

Pada saat Bali diperintah oleh Raja Bedahulu, Majapahit berusaha untuk menguasai Bali. Tetapi Kryian Mahapatih Gajah Mada benar-benar tahu bahwa kerajaan Bali tidak mungkin bisa ditaklukkan apabila masih ada Ki Kebo Iwa yang menjaga Bali. Atas dasar itu, Mahapatih Gajah Mada mengunakan siasat licik untuk menjebak Ki Kebo Iwa. Mahapatih Gajah Mada mengundang Ki Kebo Iwa untuk datang ke Jawa untuk dinikahkan dengan Putri majapahit kala itu, tetapi setelah datang ternyata Ki Kebo Iwa dibunuh disana oleh Mahapatih Gajah Mada. Setelah kejadian itu, majapahit kemudian menyerang bali dan akhirnya Bali Dwipa dengan Raja Bedahulu dapat dikalahkan dan Bali berada pada kekuasaan Majapahit.

Kerajaan Majapahit masuk ke Bali, kemudian berusaha untuk menyesuaikan dengan segala hal aspek kehidupan masyarakat Bali supaya dapat diperintah dengan mudah oleh Majapahit. Untuk itu, Majapahit memberi kuasa pada Sri Kresna Kepakisan agar memimpin pemerintahan di Bali dalam pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan mempunyai hubungan darah dengan masayrakat Bali Aga. Penunjukan Sri Kresna dengan tujuan agar mempermudah pemerintahan yang dilaksanakan oleh Majapahit sendiri. Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan, berusaha menerapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh majapahit di Bali. Kebijakan yang pernah diambil oleh Sri Kresna Kepakisan adalah mengubah status Pura Babaturan Pangangasih sebagai parahyangan Mpu Ghana menjadi pura kerajaan serta diberi nama Pura Dasar Buwana Gelgel. Namun karena sebagian besar kebijakan untuk mengalirkan Agama Hindu Majapahit yang dalam prakteknya menyinggung keyakinan masyarakat Bali Aga maka Bali Aga melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Gelgel dari Tampuryang. Majapahit mengetahui hal itu serta berusaha untuk meredam pemberontakan tersebut supaya tidak terjadi kekacauan di Bali. Dengan itu Majapahit mengundang Ki Pasek Gelgel untuk berdialok dengan kesepakatan bahwa Bali Aga bebas untuk melakukan keyakinannya.

Kala Kerajaan Majapahit mengalami kehancuran serta masuknya agama islam di Nusantara. Maka sebagian besar penduduk hindu menghindar serta bertahan di pegunungan. Ada yang melarikan diri ke Bali. Melihat hal itu eorang Pinandhita, dikenal dengan nama Dang hyang Nirarta berangkat ntuk mempertebal keyakinan orang Bali akan Hindu dan tentunya hal ini mengubah cara pandang penduduk tentang keagamaan karena sang Hyang Niratha juga disebut Pedanda Sakti Wawu Rauhyang yaitu pendeta sakti yang baru datang, disamping itu beliau juga disebut Sang Hyang Dwijendra. Salah satu warisan Dang Hyang Nirartha yaitu Padmasana sebagai tempat pemujaan Siwa Raditya. Untuk  penghormatan kepada beliau, setiap Pura yang didirikan oleh Dang Hyang Nirartha disebut dengan Pura Dang Kahyangan. Dalam perjalanan Dang Hyang Nirartha yang di awali dari Tanah Lot sampai Uluwatu sebagian besar dilakukan di pesisir sehingga tidak berpengaruh terhadap keagamaan penduduk Bali Aga.

Perbedaan Hindu Bali Dengan Hindu Menurut Bali Aga Di Desa Sukawana
Tidak di pungkiri bahwa Hindu Bali memiliki sejarah serta perkembangan yang sangat panjang. Penduduk Bali Aga yang berada di desa Sukawana merupakan penduduk yang leluhurnya dulu memberontak terhadap hindu yang diterapkan oleh majapahit. Sehingga dalam segi keagamaan, penduduk Bali Aga di Desa Sukawana memiliki tata cara serta prosesi yang berbeda dengan Hindu yang berada di Bali Pada umumnya. Oleh karena itu, penduduk Bali Aga yang berada di Desa Sukawana sendiri merupakan penduduk yang selalu menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya.

Penerapan serta prilaku keagamaan di Desa Sukawana berbeda dengan hindu Bali pada umumnya. Adapun beberapa perbedaan tersebut di antaranya:
Jro Kubayan, merupakan pemimpin tertinggi agama hindu Desa Sukawana. Ada 2 (dua) Jro Kubayan yaitu Kubayan Kiwa serta Kubayan Mucuk yang merupakan panutan bagi umat dalam melakukan pujawali atau piodalan. Di samping itu, Jro Kubayan juga bisa memerintahkan atau melarang segala sesuatu yang dilakukan oleh desa adat. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa Jro Kubayan adalah pemimpin tertinggi adat di Desa Sukawana. Pelaksanakan pujawali atau piodalan yang ada pun harus dipimpin oleh Jro Kubayan, tanpa dipimpin oleh Jro Kubayan maka upacaranya tidak bisa dilaksanakan. Jika Jro Kubayan meninggal Dunia maka dilakukan Upacara khusus keagamaan. Ini terlihat sangat berbeda dengan Hindu Bali yang bukan Bali Aga lainnya yang tidak mengenal Jro Kubayan, namun jika di Tempat lain pemimpin upacara tentunya memakai Pinanditha atau Ida Pedanda dari keturunan Dayu atau Ida Bagus. Akan tetapi kalau di Desa Sukawana, Pinanditha dilarang sama sekali untuk memimpin upacara disana.
Puja Sana, untuk mantra pemujaan. Puja sana ini tidak seperti mantra Hindu yang menggunakan bahasa Sanserkertha, namun puja sana lebih menggunakan bahasa keseharian dengan disertai rasa iman yang tinggi pada Ida Bhatara.
Penjor, untuk simbolis pemujaan di Desa Sukawana tidak ada hiasan apa-apa. Cukup hanya dengan memajang hasil potongan pertama dari asalnya yang kemudian segera dipasang di Pura. Sangatlah berbeda dengan penjor di Bali lainnya dimana penjor tersebut harus dihias dan diisi berbagia macam jenis buah serta hasil pertanian.

Keyakinan orang Bali Aga juga dipengaruhi oleh Mpu yang datang ke Bali. Namun setelah masuknya Hindu Majapahit ke Bali, orang Bali Aga mempertahankan keyakinannya. Keyakinan ini berkembang di daerah pegunungan sehingga menimbulkan perbedaan antara Hindu Bali Aga yang sulit terpengaruh oleh agama Hindu majapahit serta masyakat Bali pesisir yang banyak menyerap ajaran agama hindu dari majapahit. Perbedaan itulah yang menjadikan Bali mempunyai karakter tersendiri.


Artikel lain :
ASAL USUL SUKU TRUNYAN BALU
ASAL USUL SUKU NYAMA SELAM BALI
ASAL USUL SUKU LOLOAN BALI

Tuesday, May 23, 2017

ASAL USUL SUKU BAYAN NTB









ASAL USUL SUKU BAYAN NTB - Tertulis di naskah lontar kuno daerah ini sering disebut kerajaan suwung atau kerajaan sepi, sebuah kerajaan yang lebih banyak ditinggalkan penghuninya. Bayan merupakan daerah tertua di Pulau Lombok yang menjadi pusat berkembangnya budaya dan menyebar ke seluruh pulau Lombok. Adat saking gumi Bayan kutipan dari naskah lontar kuno yang berarti bahwa Adat masyarakat Lombok berpusat dari Gumi Bayan.

Bumi atau Gumi Bayan juga disebut Gumi Nina atau Bumi Perempuan yang berarti Gumi dengan Kasih Sayang mencerminkan Watak Prilaku serta harmonisasi Penghuninya dalam membina hubungan antara manusia dengan alamnya,manusia dengan lingkungan serta manusia dengan sang pencipta

Kerajaan Bayan berada di pesisir pantai utara pulau Lombok dengan batas-batas kerajaan Bayan sebelah timur Tal Baluk sekarang berbatasan dengan kecamatan pringga Lombok timur dan batas sebelah barat Menanga reduh yang sekarang berada di Desa Malaka kecamatan Pemenang kabupaten lombok utara.

Masjid Kuno yang berada di Bayan, dengan arsitektur yang sama, bukti perkembangan islam di lombok didukung dengan cerita-cerita tentang warisan islam seperti kitab,kitab,jungkat, naskah lontar kuno, naskah khotbah makam-makam leluhur memperkuat keberadaan peradaban islam di bumi Bayan disamping itu juga ada bekas kerajaan Bayan yang berpusat di Dusun Bayan timur serta Bayan barat ada rumah adat,loloan,karang bajo, karang salah, Anyar,sukadana, semokan,sembagek,sesait,salut, desa beleq gumantar sedangkan ditimur barung birak,sajang,sembalun dan lainya yang saat ini masih dijaga serta dipelihara oleh para prusa atau keturunan-keturunan mereka.

Di beberapa tempat terdapat kesamaan Bahasa yang mengunakan bahasa Bayan dengan ciri khas kebayanan yang mempermudah mayarakat lain untuk mengenal darimana mereka berasal, bukti sejarah lain seperti Rumah adat di Karang Bayan narmada,makam-makam di sekitar desa kebon ayu gerung, peninggalan sejarah di Desa telaga Lebur kecamatan Sekotong dan sekitarnya seperti Bong,Jungkat serta Naskah Khotbah dapat menjadikan bukti sejarah bahwa Bayan pernah menjadi pusat peradaban Islam masyarakat Lombok. Di sembalun ada daerah yang sejarahnya menerima Islam dari Bayan terbukti mereka para mubaliq yang menyebarkan siar islam menetap serta mempunyai keturunan didaerah itu.


Sebutan Pulau Lombok oleh masyarakat Bayan disebut Gumi nina, terinspirasi dari legenda sosok perempuan yang berada dipulau Lombok antara lain Dewi Anjani,Putri Mandalika serta Denda Cilinaya.

Sejarah Dewi Anjani adalah cerita di masyarakat Bayan serta Lombok pada umumnya yang merupakan Ratu Jin yang berkuasa di Gunung Rinjani, mereka salah seorang anak dari datu Tawun yaitu salah satu Raja Bayan yang pernah berkuasa di Bayan, Dewi Anjani diangkat menjadi ratu Jin setelah bertapa selama bertahun-tahun lamanya. Gunung Rinjani menyimpan pesona alam yang sangat menakjubkan sehingga memancing minat wisatawan yang merupakan andalan wisata Pulau Lombok bahkan provinsi Nusa tenggara Barat.

Sejarah Putri Mandalika dari Pantai selatan menjadi terkenal karena kebesaran hati sang putri, dikisahkan karena banyaknya para pageran yang ingin mempersunting sang putri maka, diadakan sayembara untuk memperebutkan sang putri, dalam sayembara banayk korban berjatuhan sang putri tidak tega melihat karena memperebutkan dirinya dan sang putri tidak dapat menentukan pilihan akhirnya iapun menceburkan dirinya kelaut seketika itu muncullah Yale berupa cacing laut warna-warni yang merupakan  sosok jelmaan dari Putri Mandalika yang dapat ditangkap dan dinikmati oleh siapa saja yang berkunjung dipantai selatan. Kebesaran hati Putri mandalika membuat legenda Putri yale atau putri mandalika sampai sekarang tidak habis oleh waktu. Pantai Selatan atau yang dikenal dengan pantai kuta merupakan tempat dimana legenda Putri Mandalika terjadi tradisi mbau nyale yang menjadi daya tarik disertai dengan pasir putih serta panorama pantainya yang sangat indah.

Di naskah Lontar berjudul Cilinaya dikisahkan tentang Legenda Cilinaya yang berada di Desa anyar Kecamatan Bayan kabupaten lombok Utara diceritakan bahwa sekian lamanya terpisah dari keluarga Denda Cilinaya dipertemukan dengan Keluarganya,kisah memilukan tentang Putri Seorang Raja yang bernama Datu Keling dengan seorang pangeran dari Kerajaan Daha yang membuat iba siapapun. Tanjung menangis jadi saksi bisu legenda Cilinaya dulu pada malam-malam keramat salah satu tanjung didekat kubur cilinaya terdengar seperti orang  yang menangis sehingga disebut tanjung menangis. Tidak jauh dari tanjung menangis terdapat makam clinaya yang hingga kini masih dipelihara keberadaanya dan tidak jauh dari itu terdapat satu pelabuhan yaitu pelabuhan carik dimana pelabuhan ini merupakan pelabuhan bersejarah karena tempat para mubaliq penyebar siar islam berlabuh dan berdagang.

Gumi nina mangambarkan prilaku penduduk yang menegedepankan sifat-sifat keibuan, kasih sayang,lemah lembut tingkah laku tutur kata penghuninya dalam bergaul maupun dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Gumi nina merupakan Gumi atau bumi yang setiap jengkal tanahnya dapat tumbuh subur benih-benih kehidupan. Sosok seorang perempuan yang menggambarkan sebagai sosok yang akan melawan,marah apabila anak-anaknya terancam atau digangu ketentramannya.

Masa penguasaan Raja Karang Asem yang bertahta di Cakra mataram serta pedudukan Hindia Belanda selama 1 1/2 abad atas wilayah nusantara ditambah dengan 2,5 tahun pedudukan tentara Jepang telah menjadi pengalaman berharga yang mempengaruhi corak atas keyakinan,sistem pemerintahan, sosial, politik serta Budaya yang berkembang di Bayan.

Perkembangan Pemerintahan Bayan setelah kemerdekaan tidak lagi berbentuk kerajaan dan sudah menyesuaikan diri  dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara waktu belum disebut sebagai sebuah sistem pemerintahan pada daerah Bayan masih disebut Perbekel dengan perbekelnya bernama Raden Singasan, dan Desa Bayan sendiri dipimpin oleh seorang kepala Desa atau disebut Pemusungan dengan pemusungan, sepanjang berdirinya kecamatan Bayan  pernah satu kali mengalami pemekaran yaitu pemekaran atas Kecamatan Kayangan.

Bayan merupakan Daerah terpencil di Pulau Lombok, daerah ini dikenal karena masih menyimpan serta memelihara kekayaan warisan budaya, sementara di  tempat-tempat lain jika diamati sudah tidak ditemukan lagi keunikan budaya yang diwarisi turun temurun, daerah ini masih polos dengan budaya yang masih perawan. Perkembangan  budaya  terbangun melalui bentangan sejarah yang panjang membentuk satu tatanan fanatisme masyarakat terhadap Adat istiadat yang berkembang sehingga dampaknya menjadikan Adat Istiadat di Bayan kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara Barat  masih tetap terjaga kelestariannya.

Sekarang Bayan merupakan nama Desa yang juga di pakai jadi nama kecamatan, Kecamatan Bayan ialah salah satu Kecamatan dari lima kecamatan yang ada di kabupaten Lombok utara,Kecamatan Bayan terdiri dari 9 (Sembilan) Desa yaitu Desa Sambik Elen,Loloan,Bayan,Senaru,Karang Bajo,Anyar,SukaDana,Akar-akar Dan Mumbul Sari. Kecamatan Bayan merupakan kecamatan yang terletak di sebelah timur yang berbatasan dengan kecamatan Sembalun kabupaten Lombok Timur Dan batas barat yaitu kecamatan Kayangan Utara Laut Jawa Dan sebelah Selatan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani.