ASAL USUL SUKU KORE NTB - Masyarakat Kore merupakan suatu kelompok sosial yang berasal dari penduduk dalam Kabupaten Bima, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Masyarakat sebagian bermukim dalam wilayah Kecamatan Sanggar. Belum ada data yang ditemukan tentang jumlah penduduk ini Kecamatan Sanggar sekitar tahun 1985 dengan jumlah penduduk sekitar 8.475 jiwa atau di antara masyarakat Kabupaten Bima dengan jumlah penduduk sekitar 404.383 jiwa pada tahun 1986.
Masyarakat Kore mempunyai bahasa sendiri adalah bahasa Kore. Di wilayah Kabupaten Bima mereka hidup berdampingan dengan orang-orang Mbojo atau yang biasa juga disebut orang Bima, dan warga dan masyarakat dengan latar belakang budaya lainnya yang ada di kabupaten Bima.
Wilayahnya berada di bagian barat serta selatan berbatasan dengan wilayah asal masyarakat Donggo serta masyarakat Dompu.
Mereka hidup berdampingan dengan adat dan tradisi yang di percayai masing masing untuk kehidupan bermasyarakat
Pada zaman dulu masyarakat di wilayah kecamatan ini juga pernah mempunyai sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sanggar,kejayaanya sampai dengan abad ke-16. Dalam periode 1618 - 1674 kerajaan Sanggar serta beberapa kerajaan lain di Nusa Tenggara Barat berada dalam kekuasaan Kerajaan Gowa dari Sulawesi.
Di masa pemerintahan Kolonial Belanda menjadi bagian dari Onder Afdeeling Bima. Agama Islam tela masuk ke masyarakat di daerah Sanggar ini sekitar abad ke-16.
Baca Juga : ASAL USUL SUKU DONGU
Dalam Upaya mengungkap peradaban masa lalu di Semenanjung Sanggar memang tak gampang, karena masyarakat Sanggar yang tersisa saat ini seperti tercerabut dari akar budaya mereka. Jejak peradaban di Semenanjung Sanggar, lebih banyak muncul dalam bentuk artefak dan tulang-belulang yang terkubur material letusan Gunung Tambora hampir 200 tahun lalu, dan baru mulai digali kembali pada 2004 oleh Haraldur Sirgurdsson, vulkanolog dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat.
Penggalian yang kemudian diteruskan para arkeolog Indonesia hingga saat ini. Namun, upaya merekonstruksi peradaban masa lalu ini masih sulit karena luasnya area yang tertutup awan panas, dibandingkan upaya penggalian yang ”hanya” 25 meter persegi tiap tahunnya.
Sebelumnya, cerita soal peradaban masa lalu di lereng gunung itu dilestarikan masyarakat Sanggar dalam bentuk dongeng. ”Kami inilah suku Kore dari Kerajaan Sanggar, pewaris kecantikan legenda Putri Dae Minga,” kata Suhada M Saleh (55), tokoh masyarakat Sanggar.
Lira atau bilah kayu asam untuk menenun yang warnanya hitam kelam serat alat pemintal benang yang disebut janta, yang masih dimiliki Suhada dan diwarisinya dari leluhurnya, menunjukkan kesamaan dengan alat tenun yang digali para arkeolog.
Sampai sekarang, masih banyak yang menyimpan alat tenun ini walau sebagian sudah rusak. Bagi perempuan Sanggar, alat tenun ini hingga kini masih dianggap sebagai senjata. Kami juga punya tarian yang melambangkan perempuan-perempuan menggunakan lira sebagai senjata,” kata Suhada.
Selain alat tenun, warga juga meyakini lesung berusia ratusan tahun di Desa Boro, Kecamatan Sanggar, sama bentuknya dengan yang ada di Tambora. Warga Sanggar secara rutin masih memainkan lesung itu dalam pertunjukan Kareku Kandei di berbagai acara hajatan.
Dari temuan Balai Arkeologi Denpasar, yang dipimpin Made Geria, di lubang ekskavasi Oi Bura, menunjukkan bahwa beberapa temuan di sana memang mengindikasikan ada kemiripan antara Tambora dan Sanggar. Bahkan, tim peneliti ini sering mendiskusikan berbagai temuan di lubang penggalian ke salah satu warga Sanggar yang masih paham soal budayanya, As’ad (32), seorang guru di SMAN 1 Sanggar.
”Kemiripan yang ditemukan seperti alat tenun, sama yang ditemukan di Desa Boro, di alat tenun itu biasanya disimpan benang menggunakan anyaman dengan daun lontar. Ditemukan juga lesung, ukirannya sama dengan di Kore, Sanggar.
Ukiran di pojok dinding rumah yang ditemukan di lubang ekskavasi juga sama dengan rumah di Sanggar. ”Model rumah panggung juga sama, rumah panggung dengan enam tiang yang disebut pa’a sekolo.
Kesamaan benda-benda arkeologis di lubang galian Kerajaan Tambora dengan barang yang dimiliki warga Sanggar saat ini menguatkan, adanya anyaman sejarah di antara keduanya.
Jika tulang-belulang dan berbagai artefak yang ditemukan di lubang galian Desa Oi Bura adalah bukti mati yang berkisah, kehidupan di Sanggar adalah artefak yang hidup. Keduanya, sama-sama penting untuk diungkap lebih lanjut oleh para peneliti untuk membuktikan keberadaan peradaban yang terkubur oleh letusan sebuah gunung berapi.
Artikel lain:
ASAL USUL SUKU BAYAN
ASAL USUL SUKU DOMPU
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentar dengan bijak sesuai pembahasan