Sunday, May 21, 2017

ASAL USUL SUKU LOLOAN BALI









ASAL USUL SUKU LOLOAN BALI - Suku Loloan, Berikut kutipan buku karya dari I Wayan Reken yang berjudul “Sejarah Perkembangan Islam di Bali khususnya di Kabupaten Jembrana


“…orang Bugis/Makassar tersebut pertama kali memperkenalkan ajaran-ajaran agaIslam kepada masyarakat jembrana yang beragama Hindu Bali. Seiring dengan waktu, maka semakin kuat persatuan di antara kedua belah pihak, musli dan warga asli bali yang beragama Hindu bahkan tercatat ada juga seorang anggota keluarga I Gusti Ngurah Pancoran yang memasuki agama Islam. Menyusul kemudian beerapa penduduk dan wanita….”


Sal satu bukti bahwa orang-orang Melayu di Bali juga pernah singgah, yaitu di daerah Jembrana, terdapat sebuah perkampungan yang rumah-rumahnya tidak memiliki pura, seperti rumah kebanyakan masyarakat di Bali. Rumah-rumah tersebut merupakan sebuah rumah panggung, ciri khas dari perumahan penduduk Melayu. Kampung Loloan merupakan sebuah perkampungan wrga Melayu, ditempati suku Melayu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun kampung itu berada di wilayah Bali. Penduduk kampung ini adalah keturunan para penyebar agama Islam di Bali. Unik memang, Bali yang terkenal dengan Hindhu-nya bahkan dijumpai sekelompok penduduk yang selalu menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tidak hanya itu saja, pakaian, bentuk rumah, serta tata cara adat pun masih merujuk pada akar rumput kebudayaan Melayu. Jumlah penduduk Melayu Muslim yang berada di Loloan, terdiri dari dua kecamatan yaitu Loloan Timur serta Loloan Barat, Diperkirakan sekitar 15.000 jiwa, dari sekitar 42.000 Muslim yang bermukim di Kabupaten Jembrana. Pendapat H. Mustafa Al-Qadri, merupakan sesepuh Melayu yang berada di kampung Loloan Barat, masyarakat Melayu yang berada di Loloan berasal dari beberapa daerah diantaranya Bugis, Kalimantan dan Terengganu. Tetapi yang terbesar berasal dari wilayah Bugis.


Baca Juga : ASAL USUL SUKU BALI


Menurut buku kecil “Sejarah Masuknya Islam di Bali II”, di saat Makassar jatuh ke tangan VOC sekitar tahun 1667, Kolonial Belanda menjadikan keturunan Sultan Wajo di anggab sebagai musuh yang harus dihancurkan. Di bawah tekanan Belanda, rombongan laskar Sultan Wajo, yang dipimpin oleh Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi dan akhirnya tinggal di suatu tempat yang kemudian hari lebih dikenal dengan Kampung Bajo. Dengan izin I Gusti Ngurah Pancoran yang berkuasa saat itu di Jembrana, pelabuhan tempat mereka berlabuh diberi nama Bandar Pancoran, bekas pelabuhan tua tersebut terletak di bagian barat Loloan. Semenjak itu, semakin banyak orang-orang Bugis datang ke Jembrana dengan menggunakan perahu Pinisi serta Lambo. Selain penduduk Bugis, dua ratus tahun berikutnya ialah pada abad ke-18 masehi, juga datang rombongan masyarakat Melayu Pontianak yang dipimpin oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry. Di dalam rombongan Syarif Abdullah Yahya al-Qadri tersebut terdapat pula masyarakat Melayu dari Terengganu yang bernama Ya`qub, dan kemudian menikah dengan penduduk Melayu tempatan.


Ya`qub inilah yang tertulis dalam Prasasti Melayu yang tersimpan di Masjid Agung Baitul Qadim, Loloan Timur, menurut salah seorang takmir Masjid Agung Baitul Qadim, H. Fathurrahim, dibangun pada tahun 1600-an masehi. Di pelataran masjid itu pula Ya`qub dimakamkan. Dan prasasti itu berbunyi :


“Satu Dzulqa`dah 1268 H, hari Itsnin. Encik Ya`qub orang Terengganu mewaqafkan akan barang istrinya serta mewaqafkan dengan segala warisnya yaitu al-Qur`an dan sawah satu tebih (petak) di Mertosari. Perolehannya 40 siba` (ikat) dalam Masjid Jembrana di Kampung Loloan ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak Mustika menjadi Perbekel. Saksi: Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid”

Selain bukti di atas, ada juga pendapat tentang kedatangan masyarakat Bugis di Bali sekitar tahun tersebut. Menurut informasinya, ulama-ulama yang berasal dari Negeri Kucing serta Serawak. Yang sekarang berada di Malaysia Timur, juga ikut berdatangan ke Loloan. Setelahnya, juga datang seorang muballigh bernama Syech Ahmad Bawazir dari Yaman. mereka  mengajarkan agama Islam kepada warga Loloan dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, yang sesuai dengan bahasa pengantar di Loloan pada saat itu. Itulah yang selanjutnya membuat bahasa Bugis lambat laun semakin tersisih, pada akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di Loloan.


Kekuatan budaya Melayu di Bali semakin kuat serta bertambah kokoh setelah generasi-generasi muda Loloan mulai dikirim untuk belajar dan berguru hingga ke Mekkah. Bahkan, di antara mereka ada yang menetap di Mekkah hingga 30 tahun, misalnya H. Agus Salam, H. Muhammad Said, dan HM. Asad, serta KH. Abdurrahman yang pernah mondok di sekitar Masjid al-Haram sebelum Wahabi mulai masuk ke Arab. Sepulang dari jazirah Arab, mereka kemudian membangun pesantren-pesantren di Loloan. Penduduk Melayu Islam di Loloan pada saat itu mudah diterima oleh penguasa Bali, bahkan tidak berlebihan jika disebut, sangat akrab!. Hal ini tidak terlepas dari kesediaan para Muslim Jembrana untuk ikut memperkokoh armada kerajaan-kerajaan Hindu Bali. Setiap kali ada serangan dari kerajaan lain, warga Jembrana dari penduduk Muslim ikut membantu. Untuk balas jasanya, mereka diberikan hadiah tanah seluas 200 hektare untuk pemukiman khas bagi masyarakat Melayu, jelas H. Ahmad Damanhuri, sesepuh dari Melayu Loloan. Pada saat itu juga, dibuat sebuah perjanjian tak tertulis tentang penggunaan bahasa: bahasa Bali dipakai dari daerah Air Kuning ke arah timur; sedangkan bahasa Melayu dipakai mulai dari Jembrana sampai ke daerah Melaya. Meskipun demikian, pada kenyataannya tak sekaku perjanjian itu. Sekarang, setelah 500 tahun berselang, terdapat pula unsur bahasa Bali yang terserap dalam kosakata Melayu yang dipergunakan oleh penduduk Loloan. Dan sebab itu, tidak salah jika mereka menyebut dirinya sebagai penduduk Melayu Bali.


Seperti orang Melayu kebanyakan, Masyarakat Melayu Bali di Loloan juga suka berpantun. Tetapi hanya generasi tua saja yang masih piawai dan pandai unutk mengucapkannya. Dilihat segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga sangat terlihat untuk desain bangunan rumah-rumah asli penduduk Melayu Loloan, khususnya di daerah sekitar Masjid Al-Qadim. Terdapat pula, simbol keislaman seperti tulisan Allah serta Muhammad pada dinding rumah-rumah penduduk Jembrana. Simbol inilah yang membuat Loloan terlihat seperti bukan di Bali yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura itu.

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentar dengan bijak sesuai pembahasan